Bisnishotel, BANDUNG – I Kadek Septa Adi seorang seniman menggelar pameran tunggal seni grafis dengan teknik lino cut di Hybridium, Lawangwangi Creative Space, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Ia menghimpun banyak figur-figur khayalan pada beberapa adegan di atas satu bidang karya, sehingga gambar yang dihasilkan terkesan padat namun dikomposisi dengan cukup apik, disertai teks minimalis.
Pameran karya seni bertajuk “Horns and Cannons” menyajikan objek gabar berupa meriam, rudal, tank baja, dan pesawat tempur. tidak hanya menunjukkan kecerdasan manusia tetapi juga menjadi ancaman bagi pola hidup tradisional yang telah bertahan selama berabad-abad.
“Menjadi dilema etis antara kemajuan teknologi terhadap realitas desa. Benturan antara dua simbol tanduk (tradisi) dan meriam (modernitas) menangkap ketegangan antara pelestarian dan kemajuan teknologi. Karya-karya disini merujuk pada renungan, keluar ke hal lebih luas di mana kita masih menemukan konflik, gesekan, perang,” Ujar Septa Adi sapaan akrabnya, saat pembukaan pameran di Lawangwangi Creative Space, Jumat (14/6/2024).
Unsur tradisi gambar Bali (lukisan Kamasan, Batuan, Ubud, Young Artist, dll.) terasa tidak berjarak dengan bentuk-bentuk objek yang modern pada satu karya. Nampaknya unsur garis, bidang dari lukisan tradisi Bali memungkinkan tetap dihadirkan dengan teknik cetak ini.
“Saya menggunakan penggabungan seni lukis tradisi dan seni grafis. Saya menggunakan teknik grafis untuk mengambil garis yang berasal dari seni lukis tradisi Bali pada pameran ini. Teknik hand colouring juga saya gunakan setelah selesai mencetak di kanvas. Tiga karya cetakan di kanvas dari plat yang dipamerkan di Hybridium juga dipamerkan sebuah galeri di Sydney, Australia,” tambahnya.
Sementara menurut kurator seni, Axel Ridzky menjelaskan bahwa karya Septa Adi menggambarkan reaksi terhadap peristiwa – peristiwa terkini yang sedang terjadi di sekitar maupun global.
“Septa Adi membayangkan utopia dari perang, kemudian direflesikan ketegangannya dan diolah menjadi medium seni grafis yang meminjam spirit anti-perang dari Picasso,” ungkap Axel.
“Salah satu contohnya adegan dari Guernica (1937) terlihat dipotong dan tersebar, banteng yang kubistis, sampai manusia ekspresi teriak horor dari pengeboman yang terjadi disana. Kita terbawa ke dalam adegan komikal perang yang riuh. Penuh ledakan, bentrokan dan dentuman. Diantaranya dengan latar lanskap bertumpuk khas lukisan Bali yang serupa,” lanjutnya.
Sedangkan menurut Andonowati selaku Direktur Utama ArtSociates memaparkan karya grafis yang ditampilkan oleh Septa Adi memiliki unsur detail dengan skill yang mumpuni.
“Karya grafis I Kadek Septa Adi menarik karena memiliki topik, dan unsur yang detail sehingga terlihat skill seniman yang luar biasa,” papar Andonowati.
Ia berharap kedepannya akan membuka toko khusus karya yang limited edition bersamaan dengan pameran seniman terpilih di ruang galeri Lawangwangi serta art fair yang ada di Indonesia.